actus reus and mens rea
Bahwa suatu perbuatan dianggap telah
melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, harus dipenuhi dua unsur,
yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental
element). Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau
perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku
pada saat melakukan perbuatan (Zainal Abidin Farid, 1995:35).
Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan
lahiriah itu dikenal sebagai actus reus, sedangkan kondisi jiwa atau sikap
kalbu dari pelaku perbuatan itu disebut mens rea. Jadi actus reus adalah
merupakan elemen luar (external element), sedangkan mens rea adalah unsur
kesalahan (fault element) atau unsur mental (mental element).
Seseorang dapat dipidana tidak cukup
hanya karena orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum
atau bersifat melawan hukum. Sehingga, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan
delik dalam peraturan perundang-undangan dan tidak dibenarkan (an objective
breach of a penal provision) namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan pidana (Prof. Sudarto,S.H.). Hal ini karena harus dilihat sikap
batin (niat atau maksud tujuan) pelaku perbuatan pada saat melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum tersebut.
Di beberapa negara, perbuatan dan sikap
batin seseorang dipersatukan dan menjadi syarat adanya suatu perbuatan pidana.
Zainal Abidin Farid berpendapat bahwa unsur actus reus yaitu perbuatan harus
didahulukan. Setelah diketahui adanya perbuatan pidana sesuai rumusan
undang-undang selanjutnya barulah diselidiki tentang sikap batin pelaku atau
unsur mens rea. Dengan demikian maka unsur perbuatan pidana harus didahulukan,
selanjutnya apabila terbukti barulah mempertimbangkan tentang kesalahan
terdakwa yang merupakan unsur pertanggungjawaban pidana.
Mens Rea adalah sikap batin pelaku
perbuatan pidana. Berbeda dengan actus reus yang menyangkut perbuatan yang
melawan hukum (unlawful act), mens rea mencakup unsur-unsur pembuat tindak
pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau
keadaan psikis pembuat (Utrecht, 1960: 257 ).
Delik disebut sebagai unsur subyektif apabila
unsur-unsurnya terbukti maka berarti terbuktinya pertanggung-jawaban pembuat
delik. Unsur-unsurnya adalah kemampuan bertanggungjawab, kesalahan dalam arti
luas (dolus dan culpa lata), tidak adanya alasan pemaaf
(veronstschuldingsgrond) yang semuanya melahirkan schuld-haftigkeit uber den
tater yaitu hal dapat dipidananya pembuat delik.
Perbedaan antara unsur-unsur perbuatan
melawan hukum atau perbuatan kriminal dan pertanggungjawaban pembuat delik
tidak berarti bahwa keduanya tidak saling berhubungan. Hal ini harus diingat
bahwa onrechtmatigheid atau hal melanggar hukum itu sebagai ketentuan timbul
dari norma yang atas pelanggarannya dinyatakan sebagai dapat dihukum. Di dalam
rumusan dari sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka unsur kesengajaan dapat
dianggap sebagai termasuk di dalamnya karena menurut ketentuan hal tersebut
memang disyaratkan.
Perbuatan melawan hukum dianggap sebagai
unsur dari setiap tindak pidana, hal ini berdasarkan pendapat doktrin Satochid
Kartanegara (415) yang membedakan dalam dua bentuk yaitu:
Wederrechtelijk formil yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Wederrechtelijk materiil yaitu sesuatu perbuatan mungkin wederrechtelijk
walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang.
Dengan demikian wederrechtelijk formil
bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelijk materiil tidak
bersandarkan pada undang-undang, melainkan pada asas-asas umum yang terdapat di
dalam lapangan hukum, atau apa yang dinamakan algemene beginselen.
Kesalahan dalam bahasa Belanda disebut
“Schuld” yang dalam pengertian hukum pidana berbentuk kesengajaan (dolus)
(opzet) dan kealpaan (culpa). Sedangkan beberapa ahli hukum memberikan arti
sebagai berikut ; Simons menyatakan bahwa sebagai dasar pertanggung jawaban
pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan
kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaannya karena kelakuannya.
Dengan demikian untuk adanya kesalahan
pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang
menyangkut pelaku, yaitu;
Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid)
Hubungan kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku dan akibat
yang ditimbulkan
Dolus atau Culpa
Sedangkan Utrecht menyatakan bahwa
pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana (schuld in
ruimte zin) terdiri atas tiga anasir yaitu:
Kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) dari pembuat
Suatu sikap psikhis pembuat berhubung dengan kelakuannya, yaitu Kelakuan
disengaja (anasir sengaja), dan Kelakuan kurang berhati-hati atau lalai (anasir
kealpaan) atau culpa (schuld in enge zin).
Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana
pembuat (anasir toerekeningsvatbaarheid).