Penjelasan Lengkap Pengadaan Barang/Jasa di Desa Beserta Peraturannya
tautan dari Pengadaan.web.id : Pengadaan barang/jasa di desa menjadi permasalahan yang cukup serius ketika muncul aturan mengenai pengadaan. Hal ini mengingat kondisi sosial masyarakat desa yang masih minim pengetahuan dalam PBJ. Dalam kaitan ini, orang mempersepsikan bahwa UU Desa dan pengelolaan keuangan desa jika tidak diimbangi dengan kemampuan SDM yang handal di desa, justru akan menjadi bom waktu bagi desa, sehingga dikhawatrikan bakal banyak yang terjerat kasus hukum. Oleh karenanya, dibawah ini akan kami jelaskan mengenai tata cara pengadaan barang dan jasa desa secara lengkap.
Baca Juga: Kualitas SDM Perangkat Desa Masih Minim Pengetahuan dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Dalam kaitan dengan pengadaan barang dan jasa, daerah memiliki kewenangan untuk membuat aturan tersendiri mengenai pengadaan barang/ jasa di desa dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Perka LKPP no 13 tahun 2013 dan perubahannya (Perka LKPP no 22 tahun 2015) mengatur bahwa tata cara pengadaan barang/ jasa di desa yang pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diatur oleh bupati/walikota dengan tetap berpedoman pada Perka LKPP tersebut dan kondisi sosial masyarakat setempat. Perka LKPP No 22 Tahun 2015 sendiri diterbitkan dalam rangka meningkatkan efektivitas dan kelancaran dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa di desa.
Saat ini terdapat kurang lebih 73.000 desa di Indonesia. Pada hakikatnya penduduk Indonesia tinggal di desa. Desa mendapat pengakuan yang tinggi dalam kedudukan dan pendanaannya. Terlebih setelah keluarnya UU nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ini mengatur mengenai Desa efektif yang telah diberlakukan pada tahun 2015. UU ini antara lain mengatur tentang Kedudukan dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan Masyarakat Desa, Keuangan dan Aset Desa, Pembangunan Desa, dan Pembangunan Kawasan Perdesaan. Dalam UU ini disebutkan bahwa desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota yang terdiri atas Desa dan Desa Adat atau sesuai dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat. Selain itu, di dalam UU tersebut juga dijelaskan sumber dana desa, yaitu sebagai berikut.
Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
Alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota;
Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
Lain-lain pendapatan Desa yang sah seperti Badan Usaha Milik Desa (BUMD), pengelolaan pasar desa, pengelolaan kawasan wisata skala desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam dan tambang batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber lainnya dan tidak untuk dijualbelikan.
Dari sumber dana desa tersebut, maka munculah janji pemerintah “1 desa 1 milyar”. Namun sayang sekali, dari sebuah janji pemerintah yang bagus tersebut, muncul satu permasalahan. Sebagian besar dari angka diatas pasti digunakan untuk pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan di desa. Nah, bagaimanakah tata cara pengadaan barang dan jasa di desa? Apakah harus mengikuti aturan yang ada di Perpres 54 tahun 2010 dan perubahannya?.
Sebagai sebuah kumpulan dari beberapa unit pemukiman yang harus taat kepada hukum, desa -selayaknya negara- juga berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan keuangan desa. Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Dalam mengelola keuangannya, desa memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) yaitu rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa dan ditetapkan dengan peraturan desa.
Alokasi Dana Desa (ADD) bersumber Paling sedikit 10% dari Dana Perimbangan Kabupaten (setelah dikurangi DAK/Dana Alokasi Khusus). Seperti yang tampil pada gambar dibawah ini.
Anggaran yang bersumber dari APBN dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.
Pengadaan Barang/jasa di Desa
Berdasarkan Peraturan Kepala LKPP nomor 13 tahun 2013, Pengadaan barang dan jasa di desa yang pembiayaannya besumber dari APBDes tidak mengikuti aturan dalam Perpres 54 tahun 2010. Pengadaan barang/jasa di desa pada prinsipnya dilakukan secara swakelola dengan aturan sebagai berikut:
memaksimalkan penggunaaan material/bahan dari wilayah setempat
dilaksanakan secara gotong royong dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat
untuk memperluas kesempatan kerja
untuk pemberdayaan masyarakat setempat
Namun, ternyata tidak semua pengadaan barang/ jasa di desa dilaksanakan secara swakelola. Jika dalam proses pengadaan tersebut ada yang tidak dapat dilaksanakan secara swakelola, baik sebagian maupun keseluruhan, dapat dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa yang dianggap mampu.
Prinsip Pengadaan Barang/Jasa di Desa
Dibandingkan dengan perpres 54/2010, prinsip pengadaan barang/ jasa di desa sedikit berbeda. Hal ini tentu saja menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat di desa.
Berikut matrik perbandingan prinsip dasar pengadaan barang dan jasa berdasarkan Perpres 54 tahun 2010, Perka LKPP nomor 13 tahun 2013 dan Perka LKPP No 22 tahun 2015. Perubahan Perka LKPP nomor 13 tahun 2013 ke Perka LKPP No 22 tahun 2015 tidak ada perubahan mengenai prinsip pengadaan barang/jasa di desa.
Sedangkan etika dalam pengadaan barang/jasa desa adalah:
bertanggung jawab
mencegah kebocoran dan pemborosan keuangan desa
patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
Jika dalam pengadan barang/jasa secara umum memerlukan ULP/Pejabat pengadaan, maka setiap desa wajib membentuk Tim Pengelola Kegiatan (TPK) melalui surat keputusan Kepala Desa. Tim Pengelola Kegiatan (TPK) terdiri atas unsur pemerintah desa dan unsur lembaga kemasyarakatan desa untuk melaksanakan pengadaan barang/jasa. TPK inilah yang akan melaksanakan kegiatan pengadaan barang/jasa melalui swakelola, yang meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan, pelaporan dan pertangungjawaban hasil pekerjaan.
Walaupun secara garis besar PBJ desa dilaksanakan dengan swakelola, namun jika dalam kegaian tersebut membutuhkan material dan peralatan yang mendukung pelaksanaan swakelola atau untuk memenuhi kebutuhan barang/ jasa secara langsung, maka tetap harus menggunakan penyedia.
Persyaratan penyedia barang/jasa desa sendiri diantaranya adalah penyedia yang dianggap mampu serta memiliki tempat/lokasi usaha, kecuali untuk tukang batu, tukang kayu dan sejenisnya. Khusus untuk pekerjaan konstruksi, maka penyedia harus mampu menyediakan tenaga ahli/peralatan yang diperlukan selama pelaksanaan pekerjaan hingga selesai.
Misalnya: kegiatan membangun gorong-gorong di lingkungan desa. Kegiatan membangun gorong-gorongnya itu adalah swakelola, namun dalam pengadaan material, tukang batu, tukang kayu tetap memerlukan penyedia.
Praktisnya, terdapat proses lelang ketika menentukan penyedia (toko yang akan menyediakan bahan material). Walaupun beberapa pekerjaan dilakukan dengan cara gotong royong, namun tetap ada tukang yang akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan tersebut. Hal ini dilaksanakan dengan tidak menyalahi prinsip dasar PBJ desa, mengedepankan kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan. Banyak sekali kegiatan pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Kegaitan pembangunan ini yang diterjemahkan melalui kegiatan pengadaan.
Tugas Tim Pengelola Kegiatan (TPK) desa dalam proses pengadaan antara lain :
menyusun RAB
menyusun spesifikasi teknis barang/jasa jika diperlukan
melaksanakan pembelian / pengadaan
memeriksa penawaran
melakukan negosiasi (tawar menawar)
menandatangani surat perjanjian (ketua TPK)
melakukan perubahan ruang lingkup pekerjaan
melaporkan kemajuan pelaksanaan pengadaan kepada kepala desa
menyerahkan hasil pekerjaan setelah selesai 100% kepada kepala desa
Pembagian Jenis Pengadaan Barang/Jasa Desa Berdasarkan Nilai Pekerjaan
Pengadaan barang/jasa melalui swakelola dilakukan oleh TPK. Khusus untuk konstruksi, maka dipilih salah satu anggota TPK sebagai penanggung jawab teknis pelaksanaan pekerjaan yang dianggap mampu dan mengetahui teknis pekerjaan. Untuk pengadaan barang/jasa melalui penyedia, ketentuan yang berlaku sebagai berikut:
a. Pengadaan barang/jasa dengan nilai sampai dengan Rp 50.000.000,00.
Pengadaan barang/jasa yang bernilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) dilakukan pembelian langsung oleh TPK kepada satu penyedia tanpa permintaan penawaran dan tanpa penawaran tertulis dari penyedia serta ditindaklanjuti dengan negosiasi (tawar-menawar) dan akhirnya mendapatkan bukti transaksi untuk dan atas nama TPK. Bukti transaksi cukup menggunakan nota, faktur pembelian, atau kuitansi.
b. Pengadaan barang/jasa dengan nilai diatas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 200.000.000,00.
Pengadaan barang/jasa yang bernilai di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dilakukan oleh TPK melalui pembelian langsung kepada satu penyedia dengan cara mengirimkan permintaan penawaran dan kemudian penyedia memasukkan penawaran tertulis yang dilampiri dengan daftar barang/jasa dan harga. TPK kemudian melakukan tawar menawar untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Setelah deal (kedua belah pihak setuju), penyedia menyiapkan dan memberikan bukti transaksi dengan menggunakan nota, faktur pembelian, atau kuitansi untuk dan atas nama TPK.
c. Pengadaan barang/jasa dengan nilai diatas Rp 200.000.000,00.
Pengadaan barang/jasa yang bernilai di atas Rp200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah) dilakukan oleh TPK dengan mengundang/mengirimkan permintaan penawaran kepada dua penyedia barang/jasa dan kemudian penyedia memasukkan penawaran tertulis yang dilampiri daftar barang/jasa, spesifikasi dan harga. TPK kemudian melakukan penilaian terhadap pemenuhan spesifikasi dan dilanjutkan dengan tawar menawar secara bersamaan kepada dua penyedia yang memenuhi persyaratan teknis tersebut. Namun jika hanya satu yang memenuhi spesifikasi teknis, dilanjutkan dengan tawar menawar kepada penyedia yang memenuhi spesifikasi teknis tersebut. Akan tetapi, jika keduanya tidak memenuhi spesifikasi teknis, maka proses akan diulang dari awal. Hasil negosiasi dituangkan dalam bentuk surat perjanjian.
Komentar